Jumat, 17 Mei 2013



BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Penggunaan  paduan  aluminium  terus  meningkat  dari  tahun  ketahun.  Hal  ini terlihat  dari  urutan  penggunaan  logam  paduan  aluminium  yang  menempati  urutan kedua  setelah  pengunaan  logam  besi  atau  baja,  dan  di  urutan  pertama  untuk  logam non ferro (Smith, 1995) . Sekarang ini kebutuhan aluminium di  Indonesia per tahun mencapai  200.000  hingga  300.000  ton  dengan  harga  US$  3.305  per  ton.
Pemakaian  aluminium  pada  industri  otomotif  terus  meningkat  sejak  tahun 1980  (Budinski,  2001).  Komponen  otomotif  yang  terbuat  dari  paduan  aluminium, antara  lain  adalah  piston,  blok  mesin,  kepala  silinder,  katup  dan  sebagainya.  Ini berkaitan  dengan  jumlah  kendaraan  di  Indonesia  tahun  2005  mencapai  38.156.278 buah  terdiri  dari  roda  dua  28.556.498  buah  dan  roda  empat  9.559.780  buah (Kepolisian  Republik  Indonesia,  2005).  Jika  hitungan  kasar  bahwa  penggantian kerusakan piston yang terbuat dari paduan aluminium setiap tahunnya 3-4% dikalikan jumlah  kendaraan,  maka  jumlah  piston  2.255.017  dikalikan  3  ons  berat  piston  rata-rata,  ditemukan  jumlah  total  berat  piston  yang  diganti  yaitu  6.765,5  ton.  Jika  1  ton aluminium dengan harga US$ 3.305 berarti jumlah uang keseluruhan US$ 2.235.849 (Rp 23 Milyar) atau dengan perkataan lain, bila Indonesia dapat menggunakan piston daur ulang maka dapat menghemat 23 milyar rupiah.
Piston  bekas  didaur  ulang  menjadi  piston  baru  yang  kualitasnya  diharapkan sama  dengan  piston  original.  Piston  merupakan  salah  satu  dari  spare  part  untuk kendaraan  bermotor  yang  sangat  vital  dan  sering  dilakukan  pergantian  setiap overhould. Yang jadi masalah untuk mobil-mobll tua atau mobil klasik untuk mencari spare  part  yang  original,  sekarang  sudah  tidak  ada  karena  pabrik  dari  perusahaan mobil sudah tidak memproduksi. Maka dari itu perlu dilakukan reverse engineering untuk  pembuatan  piston.  Proses  reverse  engineering  terdiri  dari  tiga  proses  yaitu CAD  (Computer  Aided  Design),  CAE  (Computer  Aided  Engineering)  dan  CAM  (Computer Aided Manucfaturing) (Vines,2008). Salah satu proses yaitu proses CAE mempelajari komposisi dan karakteristik material dalam hal ini material piston. 
Piston terbuat dari paduan aluminium dan silikon. Paduan ini memiliki daya tahan  terhadap  korosi,  abrasi  dan  koefisien  pemuaian  yang  rendah,  dan  juga mempunyai kekuatan yang tinggi, kesemua sifat tersebut merupakan sifat yang harus dimiliki oleh material piston (Cole, 1995).
Untuk memperoleh paduan Al-Si  yang sesuai dengan sifat mekanik material piston telah dilakukan beberapa inovasi dalam proses pengecoran, diantaranya adalah proses  pengecoran  gravitasi,  cetak  tekan  (squeeze  casting),  penyemprotan  plasma ( plasma  sprying ),  metalurgi  serbuk  (powder  metallurgy )  dan  insert  logam  (metal insert) (John, 1994)
Agar  piston  hasil  daur  ulang  bisa  digunakan  dengan  baik  dan  tahan  lama, maka  perlu  dilakukan  treatment  (perlakuan)  untuk  memperbaiki  sifat  aluminium piston  hasil  pengecoran  ulang.  Karena  biasanya  sifat  dan  kualitas  piston  hasil pengecoran ulang tidak bisa sama dengan piston dari bahan baku baru yaitu paduan Al-Si.
1.2         Tujuan
Adapun tujuan dari pratikum ini adalah untuk:
1.      Mengetahui proses pengecoran
2.      Mengetahui jenis-jenis dan klasifikasi pengecoran
3.      Mengetahui  sifat-sifat bahan cor dan struktur mikro dari suatu produk hasil pengecoran
4.      Mengetahui  metode pembuatan cetakan dan penyebab cacat pada saat penyusutan

1.3        Manfaat
Adapun manfaat dari praktikum ini yaitu :

1.      Bagi dunia pendidikan merupakan suatu pengalaman yang sangat menguntungkan      sebagai pengembangan ilmu di bidang material dan bahan.
2.      Bagi mahasiswa dapat belajar secara teoritis khususnya pada mata kuliah yang bersangkutan.Disamping itu sebagai pendalaman materi – materi yang didapat dibangku kuliah sehingga diharapkan akan menambah pengetahuan, wawasan dan mahasiswa teknik mesin khususnya.
3.      Dalam dunia industri pengecoran sangat bermanfaat khususnya dalam pembuatan alat-alat permesinan dan komponen-komponen mesin lainnya


BAB II
TEORI DASAR

2.1         Pengecoran Aluminium Silikon
Proses pengecoran (casting) adalah salah satu teknik pembuatan produk dimana logam cair dicairkan dalam tungku peleburan kemudian dituangkan kedalam rongga cetakan yang serupa dengan bentuk asli dari produk cor yang akan dibuat dalam proses yang paling sederhana maupun rumit yang digunakan dalam pembuatan produk dalam jumlah satu ataupun banyak dengan sifat mekanis yang keras dan ulet.
Paduan aluminium - silikon adalah paduan yang paling sering digunakan dalam proses pengecoran. Dikarenakan paduan aluminium – silikon mempunyai sifat kecairan yang sangat baik, permukaan yang halus, serta kekuatan mekanik yang tinggi. Sedangkan sebagai bahan mempunyai sifat ketahanan korosi yang baik, sangat ringan, koefisien pemuaian yang kecil, serta penghantar panas dan listrik yang bagus. Sehingga bahan paduan aluminium silikon biasa digunakan untuk komponen otomotif serta bahan konstruksi.
Paduan Al-Si adalah paduan yang sangat baik kecairannya, mempunyai permukaan yang bagus, tanpa kegetasan panas, memiliki sifat mampu cor dan ketahanan korosi yang baik, sangat ringan, koefisiennya kecil dan sebagai penghantar listrik dan panas yang baik, karena sifat-sifatnya maka paduan ini banyak dipakai sebagai bahan untuk logam las dalam pengelasan logam paduan aluminium, baik pada paduan cor maupun paduan tempa. Selain itu pada paduan Al-Si yang dipadu dengan unsur-unsur lain banyak dipakai untuk benda-benda tuang untuk industri mobil, misalnya torak, kepala silinder, pelek dan lain - lain.
Paduan Al-Si memiliki sifat mampu cor yang baik, tahan korosi, dapat diproses dengan permesinan dan dapat dilas. Diagram fasa dari Al-Si ditunjukkan pada Gambar 2.1, diagram ini digunakan  sebagai pedoman umum untuk menganalisa perubahan fasa pada proses pengecoran paduan Al-Si.
Berikut gambar diagram fasa dari paduan Al-Si.

1.       





Gambar  2.1. Diagram fasa paduan Al-Si.
Kandungan silikon pada diagram fase AL-Si  ini terdiri dari 3 macam yaitu :
a.       Hipoeutectic  yaitu apabila terdapat kandungan silikon < 11.7 % dimana struktur akhir yang terbentuk pada fasa ini adalah struktur Ferrite ( Alpha ) kaya alumunium,  dengan struktur eutektik sebagai tambahan.
b.      Eutectic  yaitu apabila kandungan silikon yang terkandung didalamnya  sekitar 11.7% sampai 12.2% Pada komposisi ini paduan Al-Si dapat   membeku secara langsung ( dari fasa cair ke padat ).
c.       Hypereutectic yaitu apabila komposisi silikon diatas 12.2 % sehingga kaya  akan silikon dengan fasa eutektik sebagai fasa tambahan.  Keberadaan struktur kristal silikon primer pada daerah ini mengakibatkan karakteristik yaitu:
1.  Ketahanan aus paduan meningkat. 
2.  Ekspansi termal yang rendah. 
3.  Memiliki ketahanan retak panas (Hot Trearing) yang baik. 
Fungsi lain dari unsur silikon dapat mereduksi koefisien ekspansi termal  dari paduan Aluminium. Selama pemanasan terjadi, pemuaian volume paduan tidak terlalu besar. Hal ini akan menjadi sangat penting saat proses pendinginan dimana akan terjadi penyusutan volume paduan Aluminium (ASM International, 2004).
Sifat Fisik Aluminium
Table. menunjukan sifat fisik aluminium
Nama, Simbol, dan Nomor
Aluminium, Al, 13
Sifat  Fisik
Wujud
Padat
Massa jenis
2,70 gram/cm3
Massa jenis pada wujud cair
2,375 gram/cm3
Titik lebur
933,47 K, 660,32 oC, 1220,58 oF
Titik didih
2792 K, 2519 oC, 4566 oF
Kalor jenis (25 oC)
24,2 J/mol K
Resistansi listrik (20 oC)
28.2 nΩ m
Konduktivitas termal (300 K)
237 W/m K
Pemuaian termal (25 oC)
23.1 µm/m K
Modulus Young
70 Gpa
Modulus geser
26 Gpa
Poisson ratio
0,35
Kekerasan skala Mohs
2,75
Kekerasan skala Vickers
167 Mpa
Kekerasan skala Brinnel
245 Mpa

2.2         Macam-Macam Pengujian
2.2.1   Uji Tarik
Uji tarik adalah suatu metode yang digunakan untuk menguji kekuatan suatu bahan/material dengan cara memberikan beban gaya yang sesumbu [Askeland, 1985]. Hasil yang didapatkan dari pengujian tarik sangat penting untuk rekayasa teknik dan desain produk karena mengahsilkan data kekuatan material. Pengujian uji tarik digunakan untuk mengukur ketahanan suatu material terhadap gaya statis yang diberikan secara lambat.



Gambar 1. Mesin uji tarik dilengkapi spesimen ukuran standar.
Pengujian tarik adalah dasar dari pengujian mekanik yang dipergunakan pada material. Dimana spesimen uji yang telah distandarisasi, dilakukan pembebanan uniaxial sehingga spesimen uji mengalami peregangan dan bertambah panjang hingga akhirnya patah. Pengujian tarik relatif sederhana, murah dan sangat terstandarisasi dibanding pengujian lain. Hal-hal yang perlu diperhatikan agar penguijian menghasilkan nilai yang valid adalah :
2.2.1.1 Bentuk dan Dimensi Spesimen uji
Spesimen uji harus memenuhi standar dan spesifikasi dari ASTM E8 atau D638. Bentuk dari spesimen penting karena kita harus menghindari terjadinya patah atau retak pada daerah grip atau yang lainnya. Jadi standarisasi dari bentuk spesimen uji dimaksudkan agar retak dan patahan terjadi di daerah gage length.
Grip and Face Selection
Face dan grip adalah faktor penting. Dengan pemilihan setting yang tidak tepat, spesimen uji akan terjadi slip atau bahkan pecah dalam daerah grip (jaw break). Ini akan menghasilkan hasil yang tidak valid. Face harus selalu tertutupi di seluruh permukaan yang kontak dengan grip. Agar spesimen uji tidak bergesekan langsung dengan face. Beban yang diberikan pada bahan yang di uji ditransmisikan pada pegangan bahan yang di uji. Dimensi dan ukuran pada benda uji disesuaikan dengan estándar baku pengujian.
Gambar 2. Dimensi dan ukuran spesimen untuk uji tarik
Kurva tegangan-regangan teknik dibuat dari hasil pengujian yang didapatkan



Gambar 3. Contoh Kurva Uji Tarik
Tegangan yang digunakan pada kurva adalah tegangan membujur rata-rata dari pengujian tarik. Tegangan teknik tersebut diperoleh dengan cara membagi beban yang diberikan dibagi dengan luas awal penampang benda uji. Dituliskan seperti dalam persamaan 2.1 berikut:
s= P/A0
Keterangan ;     s   : besarnya tegangan (kg/mm2)
P   : beban yang diberikan (kg)
A0 : Luas penampang awal benda uji (mm2)
Regangan yang digunakan untuk kurva tegangan-regangan teknik adalah regangan linier rata-rata, yang diperoleh dengan cara membagi perpanjangan yang dihasilkan setelah pengujian dilakukan dengan panjang awal. Dituliskan seperti dalam persamaan 2.2 berikut.
Keterangan ;     e   : Besar regangan
L   : Panjang benda uji setelah pengujian (mm)
Lo : Panjang awal benda uji (mm)
Bentuk dan besaran pada kurva tegangan-regangan suatu logam tergantung pada komposisi, perlakuan panas, deformasi plastik, laju regangan, temperatur dan keadaan tegangan yang menentukan selama pengujian. Parameter-parameter yang digunakan untuk menggambarkan kurva tegangan-regangan logam adalah kekuatan tarik, kekuatan luluh atau titik luluh, persen perpanjangan dan pengurangan luas. Dan parameter pertama adalah parameter kekuatan, sedangkan dua yang terakhir menyatakan keuletan bahan. Bentuk kurva tegangan-regangan pada daerah elastis tegangan berbanding lurus terhadap regangan. Deformasi tidak berubah pada pembebanan, daerah remangan yang tidak menimbulkan deformasi apabila beban dihilangkan disebut daerah elastis. Apabila beban melampaui nilai yang berkaitan dengan kekuatan luluh, benda mengalami deformasi plastis bruto. Deformasi pada daerah ini bersifat permanen, meskipun bebannya dihilangkan. Tegangan yang dibutuhkan untuk menghasilkan deformasi plastis akan bertambah besar dengan bertambahnya regangan plastik.
Pada tegangan dan regangan yang dihasilkan, dapat diketahui nilai modulus elastisitas. Persamaannya dituliskan dalam persamaan
Keterangan ;    E  : Besar modulus elastisitas (kg/mm2),
e : regangan
σ  : Tegangan (kg/mm2)
Pada mulanya pengerasan regang lebih besar dari yang dibutuhkan untuk mengimbangi penurunan luas penampang lintang benda uji dan tegangan teknik (sebanding dengan beban F) yang bertambah terus, dengan bertambahnya regangan. Akhirnya dicapai suatu titik di mana pengurangan luas penampang lintang lebih besar dibandingkan pertambahan deformasi beban yang diakibatkan oleh pengerasan regang. Keadaan ini untuk pertama kalinya dicapai pada suatu titik dalam benda uji yang sedikit lebih lemah dibandingkan dengan keadaan tanpa beban. Seluruh deformasi plastis berikutnya terpusat pada daerah tersebut dan benda uji mulai mengalami penyempitan secara lokal. Karena penurunan luas penampang lintang lebih cepat daripada pertambahan deformasi akibat pengerasan regang, beban sebenarnya yang diperlukan untuk mengubah bentuk benda uji akan berkurang dan demikian juga tegangan teknik pada persamaan (1) akan berkurang hingga terjadi patah.
2.2.1.2 Kekuatan Tarik
Kekuatan yang biasanya ditentukan dari suatu hasil pengujian tarik adalah kuat luluh (Yield Strength) dan kuat tarik (Ultimate Tensile Strength). Kekuatan tarik atau kekuatan tarik maksimum (Ultimate Tensile Strength / UTS), adalah beban maksimum dibagi luas penampang lintang awal benda uji.
di mana,           Su        = Kuat tarik
                                Pmaks  = Beban maksimum
A0       = Luas penampang awal
Untuk logam-logam yang liat kekuatan tariknya harus dikaitkan dengan beban maksimum dimana logam dapat menahan sesumbu untuk keadaan yang sangat terbatas. Tegangan tarik adalah nilai yang paling sering dituliskan sebagai hasil suatu uji tarik, tetapi pada kenyataannya nilai tersebut kurang bersifat mendasar dalam kaitannya dengan kekuatan bahan. Untuk logam-logam yang liat kekuatan tariknya harus dikaitkan dengan beban maksimum, di mana logam dapat menahan beban sesumbu untuk keadaan yang sangat terbatas. Akan ditunjukkan bahwa nilai tersebut kaitannya dengan kekuatan logam kecil sekali kegunaannya untuk tegangan yang lebih kompleks, yakni yang biasanya ditemui. Untuk berapa lama, telah menjadi kebiasaan mendasarkan kekuatan struktur pada kekuatan tarik, dikurangi dengan faktor keamanan yang sesuai.
Tegangan di mana deformasi plastik atau batas luluh mulai teramati tergantung pada kepekaan pengukuran regangan. Sebagian besar bahan mengalami perubahan sifat dari elastik menjadi plastik yang berlangsung sedikit demi sedikit, dan titik di mana deformasi plastik mulai terjadi dan sukar ditentukan secara teliti. Telah digunakan berbagai kriteria permulaan batas luluh yang tergantung pada ketelitian pengukuran regangan dan data-data yang akan digunakan.
2.2.1.3 Kekuatan luluh (yield strength)
Salah satu kekuatan yang biasanya diketahui dari suatu hasil pengujian tarik adalah kuat luluh (Yield Strength). Kekuatan luluh ( yield strength) merupakan titik yang menunjukan perubahan dari deformasi elastis ke deformasi plastis [Dieter, 1993]. Besar tegangan luluh dituliskan seperti pada persamaan 2.4, sebagai berikut.
Keterangan ;     Ys  : Besarnya tegangan luluh (kg/mm2)
Py  : Besarnya beban di titik yield (kg)
Ao : Luas penampang awal benda uji (mm2)
Tegangan di mana deformasi plastis atau batas luluh mulai teramati tergantung pada kepekaan pengukuran regangan. Sebagian besar bahan mengalami perubahan sifat dari elastik menjadi plastis yang berlangsung sedikit demi sedikit, dan titik di mana deformasi plastis mulai terjadi dan sukar ditentukan secara teliti.
Kekuatan luluh adalah tegangan yang dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah kecil deformasi plastis yang ditetapkan. Definisi yang sering digunakan untuk sifat ini adalah kekuatan luluh ditentukan oleh tegangan yang berkaitan dengan perpotongan antara kurva tegangan-regangan dengan garis yang sejajar dengan elastis ofset kurva oleh regangan tertentu.
2.2.1.4 Pengukuran Keliatan (keuletan)
Keuleten adalah kemampuan suatu bahan sewaktu menahan beban pada saat diberikan penetrasi dan akan kembali ke baentuk semula.Secara umum pengukuran keuletan dilakukan untuk memenuhi kepentingan tiga buah hal [Dieter, 1993]:
  1. Untuk menunjukan elongasi di mana suatu logam dapat berdeformasi tanpa terjadi patah dalam suatu proses suatu pembentukan logam, misalnya pengerolan dan ekstrusi.
  2. Untuk memberi petunjuk secara umum kepada perancang mengenai kemampuan logam untuk mengalir secara pelastis sebelum patah.
  3. Sebagai petunjuk adanya perubahan permukaan kemurnian atau kondisi pengolahan
2.1.4 Modulus Elastisitas
Modulus Elastisitas adalah ukuran kekuatan suatu bahan akan keelastisitasannya. Makin besar modulus, makin kecil regangan elastik yang dihasilkan akibat pemberian tegangan. Secara matematis persamaan modulus elastic dapat ditulis sebagai berikut.
Dimana,            s = tegangan
ε = regangan
2.2.1.5 Kelentingan (resilience)
Kelentingan adalah kemampuan suatu bahan untuk menyerap energi pada waktu berdeformasi secara elastis dan kembali kebentuk awal apabila bebannya dihilangkan [Dieter, 1993].
2.2.1.6 Ketangguhan (Toughness)
Ketangguhan (Toughness) adalah kemampuan menyerap energi pada daerah plastik. Pada umumnya ketangguhan menggunakan konsep yang sukar dibuktikan atau didefinisikan. Ketangguhan (S0) adalh perbandingan antara kekuatan dan kueletan. Persamaan sebagai berikut.
UTsu ef                            atau
Untuk material yang getas
Keterangan;    UT  : Jumlah unit volume
Tegangan patah sejati adalah beban pada waktu patah, dibagi luas penampang lintang. Tegangan ini harus dikoreksi untuk keadaan tegangan tiga sumbu yang terjadi pada benda uji tarik saat terjadi patah. Karena data yang diperlukan untuk koreksi seringkali tidak diperoleh, maka tegangan patah sejati sering tidak tepat nilai.
2.2.2   Uji Bending
Uji lengkung (bending test) merupakan salah satu bentuk pengujian untuk menentukan mutu suatu material secara visual. Selain itu uji bending digunakan untuk mengukur kekuatan material akibat pembebanan dan kekenyalan hasil sambungan las baik di weld metal maupun HAZ. Dalam pemberian beban dan penentuan dimensi mandrel ada beberapa factor yang harus diperhatikan, yaitu  :
1.      Kekuatan tarik (Tensile Strength)
2.      Komposisi kimia dan struktur mikro terutama kandungan Mn dan C.
3.      Tegangan luluh (yield).
Berdasarkan posisi pengambilan spesimen, uji bending dibedakan menjadi 2 yaitu transversal bending dan longitudinal bending.
2.2.2.1 Transversal Bending.
Pada transversal bending ini, pengambilan spesimen tegak lurus dengan arah pengelasan. Berdasarkan arah pembebanan dan lokasi pengamatan, pengujian transversal bending dibagi menjadi tiga  :
a.      Face Bend (Bending pada permukaan las)
Dikatakan Face Bend jika bending dilakukan sehingga permukaan las mengalami tegangan tarik dan dasar las mengalami tegangan tekan (gambar 5.1). Pengamatan dilakukan pada permukaan las yang mengalami tegangan tarik. Apakah timbul retak atau tidak. Jika timbul retak di manakah letaknya, apakah di weld metal, HAZ atau di fussion line  (garis perbatasan WM dan HAZ).
Gambar 4. Face Bend pada transversal Bending
b.      Root Bend (Bending pada akar las)
Dikatakan Rote Bend jika bending dilakukan sehingga akar las mengalami tegangan tarik dan dasar las mengalami tegangan tekan (gambar 5.2). Pengamatan dilakukan pada akar las yang mengalami tegangan tarik, apakah timbul retak atau tidak. Jika timbul retak dimanakah letaknya, apakah di weld metal. HAZ atau di fusion line (garis perbatasan WM dan HAZ)






Gambar 5. Root Bend pada transversal Bending
c.       Side Bend ( Bending pada sisi las ).
Dikatakan Side Bend jika bending dilakukan sehingga sisi las (gambar 5.3). Pengujian ini dilakukan jika ketebalan material yang di las lebih besar dari 3/8 inchi. Pengamatan dilakukan pada sisi las tersebut, apakah timbul retak atau tidak. Jika timbul retak dimanakah letaknya, apakah di Weld metal, HAZ atau di fusion line (garis perbatasan WM dan HAZ).







Gambar 6. Side Bend pada transversal Bending
2.2.2.2 Longitudinal Bending
Pada longitudinal bending ini, pengambilan spesimen searah dengan arah pengelasan berdasarkan arah pembebanan dan lokasi pengamatan, pengujian longitudinal bending dibagi menjadi dua :
1.        Face Bend (Bending pada permukaan las)
Dikatakan Face Bend jika bending dilakukan sehingga permukaan las mengalami tegangan tarik dan dasar las mengalami tegangan tekan (gambar 5.4). Pengamatan dilakukan pada permukaan las yang mengalami tegangan tarik, apakah timbul retak atau tidak. Jika timbul retak di manakah letaknya, apakah di Weld metal, HAZ atau di fusion line (garis perbatasan WM dan HAZ).

    

        
                 Gambar 7. Face Bend pada longitudinal Bending
2.        Root Bend (Bending pada akar las)
Dikatakan Root Bend jika bending dilakukan sehingga akar las mengalami tegangan tarik dan dasar las mengalami tegangan tekan (gambar 5.5). Pengamatan dilakukan pada akar las yang mengalami tegangan tarik, apakah timbul retak atau tidak. Jika timbul retak di manakah letaknya, apakah di Weld metal, HAZ atau di fusion line (garis perbatasan WM dan HAZ).




Gambar 8. Root Band pada longitudinal Bending
2.2.2.3 Kriteria kelulusan uji bending
                   Untuk dapat lulus dari uji bending maka hasil pengujian harus memenuhi standard ASME sebagai berikut  :
a.       Pada daerah Weld metal dan HAZ ukurannya tidak melebihi 1/8 inchi ( ±3,2 mm) yang diukur dari segala arah pemukaan.
b.      Pada daerah pelapisan ukuran cacat maksimal 1.6 mm
c.       Cacat pada sudut diabaikan kecuiali akibat SI (Slag Inclusión) dan IF (Incomplate Fusion) dan Internal Discontinuties
2.2.3   Uji Kekerasan
Uji kekerasan adalah salah satu sifat mekanik (Mechanical properties) dari suatu material. Kekerasan suatu material harus diketahui khususnya untuk material yang dalam penggunaanya akan mangalami pergesekan (frictional force) dan deformasi plastis. Deformasi plastis sendiri suatu keadaan dari suatu material ketika material tersebut diberikan gaya maka struktur mikro dari material tersebut sudah tidak bisa kembali ke bentuk asal artinya material tersebut  tidak dapat kembali ke bentuknya semula. Lebih ringkasnya kekerasan didefinisikan sebagai kemampuan suatu material untuk menahan beban identasi atau penetrasi (penekanan).
Di dalam aplikasi manufaktur, material dilakukan pengujian dengan dua pertimbangan yaitu untuk mengetahui karakteristik suatu material baru dan melihat mutu untuk memastikan suatu  material memiliki spesifikasi kualitas tertentu. Didunia teknik, umumnya pengujian kekerasan menggunakan 4 macam metode pengujian kekerasan, yakni :

2.2.3.1       Pengujian kekerasan dengan metode Brinnel
Bertujuan untuk menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola baja (identor) yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut (spesimen). Idealnya, pengujian Brinnel diperuntukan untuk material yang memiliki permukaan yang kasar dengan uji kekuatan berkisar 500-3000 kgf. Identor (Bola baja) biasanya telah dikeraskan dan diplating ataupun terbuat dari bahan Karbida Tungsten. brinnel dirumuskan dengan :



Gambar 9. Pengujian brinell
Dimana :         D        = Diameter bola (mm)
d        = impression diameter (mm)
F        = Load (beban) (kgf)
HB      = Brinell result (HB)
Gambar 10. Perumusan untuk pengujian brinell
2.2.3.2 Pengujian kekerasan dengan metode Rockwell
Bertujuan menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap indentor berupa bola baja ataupun kerucut intan yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut.



Gambar 11. Pengujian rockwell
Untuk mencari besarnya nilai kekerasan dengan menggunakan metode Rockwell dijelaskan pada gambar 11, yaitu pada langkah 1 benda uji ditekan oleh indentor dengan beban minor (Minor Load F0) setelah itu ditekan dengan beban mayor (major Load F1) pada langkah  2, dan pada langkah 3 beban mayor diambil sehingga yang tersisa adalah minor load dimana pada kondisi 3 ini indentor ditahan seperti kondisi pada saat total load F yang terlihat pada Gambar 11. Besarnya minor load maupun major load tergantung dari jenis material yang akan di uji.


Gambar 12. Prinsip kerja metode pengukuran kekerasan rockwell

Rumus untuk mencari besarnya kekerasan dengan metode Rockwell.
HR = E - e
Dimana :           F0        = Beban Minor(Minor Load) (kgf)
F1        = Beban Mayor(Major Load) (kgf)
F          = Total beban (kgf)
e          = Jarak antara kondisi 1 dan kondisi 3 yang dibagi dengan  0.002 mm
E         = Jarak antara indentor saat diberi minor load dan zero reference line yang untuk tiap jenis indentor berbeda-beda.
HR      = Besarnya nilai kekerasan dengan metode hardness.
2.2.3.3  Pengujian kekerasan dengan metode Vickers      
Bertujuan menentukan kekerasan suatu material dalam yaitu daya tahan material terhadap indentor intan yang cukup kecil dan mempunyai bentuk geometri berbentuk piramid seperti ditunjukkan pada gambar 3. Beban yang dikenakan juga jauh lebih kecil dibanding dengan pengujian rockwell dan brinel yaitu  antara 1 sampai 1000 gram. Angka kekerasan Vickers (HV) didefinisikan sebagai hasil bagi (koefisien) dari beban uji (F) dengan luas permukaan bekas luka tekan (injakan) dari indentor(diagonalnya) (A) yang dikalikan dengan sin (136°/2). Rumus untuk menentukan besarnya nilai kekerasan dengan metode vikers yaitu :


Gambar 13. Pengujian vikers
Gambar 14. Bentuk indentor Vickers (Callister, 2001)
................................(1)
...............................(2)
...............................(3)
Dimana,          HV     = Angka kekerasan Vickers
F       = Beban (kgf)
d       = diagonal (mm)
2.2.3.4 Mikrohardness test tahu sering disebut dengan knoop hardness testing
Merupakan pengujian yang cocok untuk pengujian material yang nilai kekerasannya rendah. Knoop biasanya digunakan untuk mengukur material yang getas seperti keramik. 
Gambar 15. Bentuk indentor Knoop ( Callister, 2001)
Dimana,          HK      = Angka kekerasan Knoop
F          = Beban (kgf)
l             = Panjang dari indentor (mm).
2.2.4    Uji Struktur Mikro
Pengujian strukturmikro digunakan untuk mengetahui gambar struktur logam, jenis fasa, dan besar butir dari logam. Dalam pengujian ini kwalitas bahan ditentukan dengan mengamati struktur dibawah mikroskop, disamping itu dapat pula mengamati cacat dan bagian yang tak teratur. Mikroskop yang dipergunakan adalah mikroskop cahaya. Permukaan logam uji dipoles dan diperiksa langsung dibawah mikroskop.


2.2.4.1  Struktur mikro Logam
Menurut Vlack V.(1992) terdapat beberapa strukturmikro dari logam antara lain:
a)      Ferit atau besi-α
Modifikasi struktur dari besi murni pada suhu ruang. Bersifat lunak dan ulet, dalam keadaan murni (komersiil) kekuatan tarik yang rendah sekitar 272-290 MPa,elongation 61% dan kekerasan 75 HB, tetapi memiliki keuletan yang tinggi Bersifat ferromagnetic pada suhu dibawah 770°C. Berat jenis ferit adalah 7,88 mg/m3.
Karena ferit mempunyai struktur kubik pemusatan ruang, ruangan antar atom kecil dan pepat sehingga tidak dapat menampung atom karbon yang kecil sekalipun. Oleh sebab itu daya larut karbon dalam ferit rendah (1 karbon per 1000 atom besi). Atom karbon terlalu kecil untuk membentuk larutan padat subtitusi dan terlalu besar untuk larutan padat interstisi.
b.      Sementit / karbida besi
Pada paduan besi karbon, karbon melebihi batas daya larut membentuk fasa kedua, yang disebut karbida besi (sementit). Karbida besi mempunyai komposisi kimia, Fe3C. Hal ini tidak berarti bahwa karbida besi membentuk molekul-molekul Fe3C, akan tetapi kisi kristal mengandung atom besi dan karbon dalam perbandingan tiga lawan satu. Fe3C mempunyai sel satuan ortorombik dengan 12 atom besi dari 4 atom karbon per sel, jadi kandungan karbon : 6,7% (berat). Berat jenisnya : 7,6Mg/m3 dan kekerasan 550 HB.
Sementit bersifat keras dan getas, terbentuk pada benda cor dimana terjadi pendinginan cepat seperti bagian yang tipis, pojok dan sepanjang permukaan benda cor.
c.       Perlit
Selama pendinginan terjadi reaksi eutektoid Fe-C yang menyangkut pembentukan ferit α dan karbida (Ĉ), sebagai hasil dekomposisi austenit γ berkomposisi eutektoid
γ(~0,8%C)           α + Ĉ,                      (2.6)
Dalam campuran yang dihasilkan terdapat ~ 12% karbida dan lebih dari 88% ferit. Karena karbida dan ferit terbentuk bersama-sama, keduanya tercampur dengan baik. Bentuk campuran ini seperti lamel; dan terdiri dari lapisan ferit dan karbida. Mikrostruktur yang dihasilkan disebut perlit. Perlit memiliki kekuatan tarik 862 Mpa, elongation 10% dan kekerasan 200 HB.
Perlit merupakan campuran khusus terdiri dari dua fasa dan terbentuk sewaktu austenit dengan komposisi eutektoid bertransformasi menjadi ferit dan karbida. Hal ini perlu diingat karena campuran antara ferit dan karbida dapat terbentuk oleh reaksi-reaksi yang lain. Namun mikrostruktur yang dihasilkan oleh reaksi-reaksi lain tidak berbentuk lamel dan sifatnya pun akan berlainan. Karena perlit terjadi dari austenit dengan komposisi eutektoid, jumlah perlit yang ada sama dengan jumlah austenit eutektoid yang tertransformasikan.
2.2.4.2  Hubungan Struktur mikro dengan Sifat Mekanik
Sifat seperti kekerasan dan kekuatan tidak dapat ditentukan dari sifat masing-masing fasa. Kekuatan matrik fasa ferit kurang dari sepertiganya, karena ferit merupakan fasa yang kontinu maka seluruh beban harus dipikulnya. Hal ini terjadi karena partikel karbida menghambat slip dan menghalangi terjadinya pergeseran dalam matrik yang lebih lemah yang disebut pembatas plastik.
Menurut Vlack V (1992) hubungan antara struktur mikro dengan sifat mekanik logam adalah sebagai berikut:
1.      Efek Kuantitas Fasa
Perlit merupakan contoh kualitatif yang baik dari hubungan antar struktur mikro dan sifat mekanik. Semakin besar prosentase karbon, sementit dan perlitnya maka kekuatan luluh, tarik dan kekerasannya meningkat sedangkan perpanjangan, keuletan, susut penampangnya  semakin menurun (Vlack V,1992).
2.      Efek Ukuran Fasa
Partikel karbida yang lebih halus jauh lebih efektif pengaruhnya terhadap penguatan ferit yang ulet dari pada karbida yang kasar. Laju pendinginan yang lebih tinggi pada reaksi eutektoid (pada suhu dekomposisi austenit yang lebih rendah) menghasilkan lamel atau lapisan dengan jumlah banyak dan tipis karena berdifusi terbatas pada jarak-jarak yang pendek. Lapisan perlit yang halus mempunyai daerah batas butir per satuan volume yang lebih besar atau lapisan yang lebih tipis berarti lebih banyak batasan plastik dan kekuatan tarik meningkat, karena lebih banyak batasan plastik untuk ferit yang dapat dideformasi.
3.      Pengaruh Bentuk dan Distribusi Fasa.
Dua strukturmikro yang sangat berbeda ukuran fasa karbidanya. Berat jenisnya sama, oleh karena fraksi volume dan karbida sama akan tetapi memiliki sifat mekanik yang berbeda. Lamel karbida dalam perlit merupakan hambatan pada deformasi plastic ferit, sedang karbida yang bulat kurang efektif sebagai penghambat deformasi plastik.
2.2.5        Uji Densitas
Densitas merupakan massa jenis yang dimiliki oleh setiap material. Semakin tinggi densitas yang dimiliki suatu material maka semakin tinggi kekerasan material tersebut.
2.2.5.1       Densitas pengecoran aluminium dengan cetakan pasir
Dari hasil penelitian pada praktikum metalurgi fisik dalam pengecoran aluminium dengan mengunakan cetakan pasir dapat dilihat pada struktur mikro bahwa produk coran memiliki rongga-rongga dengan batas butir yang nampak jelas. Hal ini menandakan bahwa densitas pengecoran aluminium dengan cetakan pasir lebih rendan dibandingkan dengan pengecoran aluminium menggunakan cetakan logam. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain pada cetakan pasir yang tidak kering/masih terdapat kandungan air yang dapat mengikat oksigan-oksigen sehingga pada proses penuangan logam cair oksigen tersebut terjebak didalam cetakan yang dapat mengurangi kerapatan atau densitas dari produk coran.
2.2.5.2       Densitas pengecoran aluminium dengan cetakan logam
Berbeda halnya dengan cetakan pasi, pengecoran aluminium dengan menggunakan menggunakan cetakan logam disamping permukaan hasil coran yang lebih halus, produk cetakan logam juga memiliki densitas yang lebih tinggi. Karena cetakan logam memiliki permukaan yang rata dan halus sehingga logam cair dapat mengalir dengan baik dan mengisi setiap rongga cetakan dan reaksi dengan oksigen lebih rendah dibandingkan dengan cetakan pasir.  















BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Jumat jam 08-12.30, pada tanggal 03 mei 2013. Bertempat di Laboratorium Teknologi Mekanik, Fakultas Teknik Universitas Haluoleo kendari.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Bahan
            Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum pengecoran  logam adalah sebagai berikut:
a.  Pasir halus
b. Logam (aluminium-silikon)
c.  pelumas

3.2.2 Alat
            Adapun alat yang digunakan dalam praktikum pengecoran logam yaitu sebagai berikut:
No
Alat
Fungsi
1
Kikir
Untuk mengikir logam
2
Digital thermocouple reader
Untuk mengukur temperatur logam saat peleburan
3
Gerinda Tangan
Untuk menghaluskan permukaan benda
4
Gerinda potong
Untuk memotong
5
Ragum
Untuk menjepit benda kerja
6
Blower
Sebagai peniup tungku
7
Crucible
Sebagai wadah logam cair
8
Tungku
Sebagai tempat pelebur logam
3.2.3 prosedur percobaan.
Adapun prosedur percobaan dalam praktikum adalah sebagai berikut:
1.            Sebelum mulai praktikum pertama-tama praktikan menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2.            Menyiapkan pasir
3.            Menyiapkan cetakan diatas pasir
4.            Menuangkan pelumas kedalam bejana pelumas
5.            Memutar pengunci pelumas agar pelumasnya mengalir ke tungku.
6.            Setelah pelumas mengalir, nyalakan tungku bertanda untuk memulainya proses pengecoran.
7.            Nyalakan blower dan masukkan crucible kedalam tungku
8.            Masukkan piston kedalam crucible untuk memulai pemasakan logam
9.            Setelah logam mencair ukurlah suhunya menggunakan digital termocouple reader
10.        Setelah logam mencair kemudian dituang kedalam cetakan yang telah di sipkan.
11.        Setelah coran membeku, kemudian dilakukan pembongkaran cetakan
12.        Coran didinginkan
13.        Coran di potong-potong tipis
14.        Hasil coran dikikir untuk menghasilkan produk yang halus.