BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Penggunaan paduan
aluminium terus meningkat
dari tahun ketahun.
Hal ini terlihat dari
urutan penggunaan logam
paduan aluminium yang
menempati urutan kedua setelah
pengunaan logam besi
atau baja, dan
di urutan pertama
untuk logam non ferro (Smith, 1995) . Sekarang ini
kebutuhan aluminium di Indonesia per
tahun mencapai 200.000 hingga
300.000 ton dengan
harga US$ 3.305
per ton.
Pemakaian aluminium
pada industri otomotif
terus meningkat sejak
tahun 1980 (Budinski, 2001).
Komponen otomotif yang
terbuat dari paduan
aluminium, antara lain adalah
piston, blok mesin,
kepala silinder, katup
dan sebagainya. Ini berkaitan
dengan jumlah kendaraan
di Indonesia tahun
2005 mencapai 38.156.278 buah terdiri
dari roda dua
28.556.498 buah dan
roda empat 9.559.780
buah (Kepolisian Republik Indonesia,
2005). Jika hitungan
kasar bahwa penggantian kerusakan piston yang terbuat
dari paduan aluminium setiap tahunnya 3-4% dikalikan jumlah kendaraan,
maka jumlah piston
2.255.017 dikalikan 3
ons berat piston
rata-rata, ditemukan jumlah
total berat piston
yang diganti yaitu
6.765,5 ton. Jika
1 ton aluminium dengan harga US$
3.305 berarti jumlah uang keseluruhan US$ 2.235.849 (Rp 23 Milyar) atau dengan
perkataan lain, bila Indonesia dapat menggunakan piston daur ulang maka dapat
menghemat 23 milyar rupiah.
Piston bekas
didaur ulang menjadi
piston baru yang
kualitasnya diharapkan sama dengan
piston original. Piston
merupakan salah satu
dari spare part
untuk kendaraan bermotor yang
sangat vital dan
sering dilakukan pergantian
setiap overhould. Yang jadi masalah untuk mobil-mobll tua atau mobil
klasik untuk mencari spare part yang
original, sekarang sudah
tidak ada karena
pabrik dari perusahaan mobil sudah tidak memproduksi.
Maka dari itu perlu dilakukan reverse engineering untuk pembuatan
piston. Proses reverse
engineering terdiri dari
tiga proses yaitu CAD
(Computer Aided Design),
CAE (Computer Aided Engineering) dan
CAM (Computer Aided Manucfaturing) (Vines,2008). Salah satu proses yaitu
proses CAE mempelajari komposisi dan karakteristik material dalam hal ini
material piston.
Piston
terbuat dari paduan aluminium dan silikon. Paduan ini memiliki daya tahan terhadap
korosi, abrasi dan
koefisien pemuaian yang
rendah, dan juga mempunyai kekuatan yang tinggi, kesemua
sifat tersebut merupakan sifat yang harus dimiliki oleh material piston (Cole,
1995).
Untuk
memperoleh paduan Al-Si yang sesuai
dengan sifat mekanik material piston telah dilakukan beberapa inovasi dalam
proses pengecoran, diantaranya adalah proses
pengecoran gravitasi, cetak
tekan (squeeze casting), penyemprotan plasma ( plasma sprying
), metalurgi serbuk
(powder metallurgy
) dan insert
logam (metal insert) (John,
1994)
Agar piston
hasil daur ulang
bisa digunakan dengan
baik dan tahan
lama, maka perlu dilakukan
treatment (perlakuan) untuk
memperbaiki sifat aluminium piston hasil
pengecoran ulang. Karena
biasanya sifat dan
kualitas piston hasil pengecoran ulang tidak bisa sama dengan
piston dari bahan baku baru yaitu paduan Al-Si.
1.2
Tujuan
Adapun tujuan dari pratikum ini adalah
untuk:
1. Mengetahui
proses pengecoran
2. Mengetahui jenis-jenis dan
klasifikasi pengecoran
3. Mengetahui sifat-sifat bahan cor dan struktur mikro dari
suatu produk hasil pengecoran
4. Mengetahui metode pembuatan cetakan dan penyebab cacat
pada saat penyusutan
1.3
Manfaat
Adapun manfaat dari praktikum ini yaitu :
1. Bagi
dunia pendidikan merupakan suatu pengalaman yang sangat menguntungkan sebagai pengembangan ilmu di bidang
material dan bahan.
2. Bagi
mahasiswa dapat belajar secara teoritis khususnya pada mata kuliah yang
bersangkutan.Disamping itu sebagai pendalaman materi – materi yang didapat
dibangku kuliah sehingga diharapkan akan menambah pengetahuan, wawasan dan
mahasiswa teknik mesin khususnya.
3. Dalam
dunia industri pengecoran sangat bermanfaat khususnya dalam pembuatan alat-alat
permesinan dan komponen-komponen mesin lainnya
BAB
II
TEORI
DASAR
2.1
Pengecoran
Proses
pengecoran (casting) adalah salah
satu teknik pembuatan produk dimana logam cair dicairkan dalam tungku peleburan
kemudian dituangkan kedalam rongga cetakan yang serupa dengan bentuk asli dari
produk cor yang akan dibuat dalam proses yang paling sederhana maupun rumit
yang digunakan dalam pembuatan produk dalam jumlah satu ataupun banyak dengan
sifat mekanis yang keras dan ulet.
Ada
4 faktor yang berpengaruh atau merupakan cirri dari proses pengecoran, yaitu :
1. Adanya
aliran logam cair kedalam rongga cetak
2. Terjadi
perpindahan panas selama pembekuan dan pendinginan dari logam dalam cetakan
3. Pengaruh
material cetakan
4. Pembekuan
logam dari kondisi cair
2.2
Klasifikasi
Pengecoran
Klasifikasi
pengecoran dibagi menjadi dua bagian :
1.
Pengecoran
sekali pakai (expendable Mold)
Pengecoran sekali pakai (expendable
Mold)
adalah Cetakan yang hanya bisa digunakan satu kali pengecoran saja, setelah itu
cetakan tersebut dirusak saat pengambilan benda coran,contohnya : Cetakan pasir
dan cetakan lilin.
Keuntungan Pola sekali pakai :
a)
Sangat tepat untuk mengecor benda dalam
jumlah kecil/ukuran kecil
b)
Tidak memerlukan pemesinan lagi
c)
Menghemat bahan cor
d)
Permukaan mulus
e)
Tidak diperlukan pembuatan pola belahan
kayu yang rumut
f)
Tidak diperlukan inti
g)
Pengecoran jauh lebih sederhana
Kerugian
Pola sekali pakai :
a)
Pola rusak sewaktu dilakukan pengecoran
b)
Pola lebih mudah rusak pada saat
penyiapan
c)
Pembuatan pola tidak bisa dengan mesin
mekanik
2.
Pengecoran
Cetakan Permanent (permanent Mold)
Pengecoran Cetakan Permanent (permanent Mold) adalah Cetakan yang
digunakan atau dipakai berulang-ulang.Contohnya : cetakan kayu,plastik dan
logam.
Keuntungan
pola permanent :
a)
Pola dapat digunakan berulang-ulang
b)
Pola lebih tahan dan awet
c)
Struktur lebih halus,kekuatan baik
d)
Pendinginan lebih cepat
Kerugian pola permanent :
a)
Biaya
lebih mahal
b)
Permukaan cetakan harus di coating
2.3
Cetakan
Secara
umum cetakan harus memiliki bagian-bagian utama sebagai berikut :
a.
Cavity (rongga cetakan), merupakan
ruangan tempat logam cair yang dituangkan kedalam cetakan. Bentuk rongga ini
sama dengan benda kerja yang akan dicor. Rongga cetakan dibuat dengan
menggunakan pola.
b.
Core (inti), fungsinya
adalah membuat rongga pada benda coran. Inti dibuat terpisah dengan cetakan dan
dirakit pada saat cetakan akan digunakan. Bahan inti harus tahan menahan
temperatur cair logam paling kurang bahannya dari pasir.
c.
Gating sistem (sistem
saluran masuk), merupakan saluran masuk kerongga
cetakan dari saluran turun. Gating sistem suatu cetakan dapat lebih dari satu,
tergantung dengan ukuran rongga cetakan yang akan diisi oleh logam cair.
d.
Sprue (Saluran turun),
merupakan saluran masuk dari luar dengan posisi vertikal. Saluran ini juga
dapat lebih dari satu, tergantung kecepatan penuangan yang diinginkan.
e.
Pouring basin, merupakan
lekukan pada cetakan yang fungsi utamanya adalah untuk mengurangi kecepatan
logam cair masuk langsung dari ladle ke sprue. Kecepatan aliran logam yang
tinggi dapat terjadi erosi pada sprue dan terbawanya kotoran-kotoran logam cair
yang berasal dari tungku kerongga cetakan.
f.
Raiser (penambah), merupakan
cadangan logam cair yang berguna dalam mengisi kembali rongga cetakan bila
terjadi penyusutan akibat solidifikasi.
2.4
Cetakan Pasir (Sand Mold Casting)
Sand mold casting adalah bagian pengecoran yang diproduksi
dengan membentuk cetakan dengan bantuan model atau pola ditekan menjadi
campuran pasir dan kemudian dihapus, setelah cair logam cair dituang ke dalam
rongga dalam cetakan. cetakan tersebut kemudian didinginkan sampai logam telah
kuat.
Pengecoran dengan cetakan pasir melibatkan
aktivitas-aktivitas seperti menempatkan pola dalam kumpulan pasir untuk
membentuk rongga cetak, membuat sistem saluran, mengisi rongga cetak dengan
logam cair, membiarkan logam cair membeku, membongkar cetakan yang berisi
produk cor an membersihkan produk cor.
2.4.1
Pasir
Kebanyakan pasir yang digunakan dalam pengecoran adalah
pasir silika (SiO2). Pasir merupakan produk dari hancurnya
batu-batuan dalam jangka waktu lama. Alasan pemakaian pasir sebagai bahan
cetakan adalah karena murah dan ketahanannya terhadap temperature
tinggi. Ada dua jenis pasir yang umum digunakan yaitu naturally
bonded (banks sands) dan synthetic (lake sands). Karena komposisinya mudah
diatur, pasir sinetik lebih disukai oleh banyak industri pengecoran.
Pemilihan jenis pasir untuk cetakan melibatkan bebrapa
factor penting seperti bentuk dan ukuran pasir. Sebagai contoh , pasir halus
dan bulat akan menghasilkan permukaan produk yang mulus/halus. Untuk membuat
pasir cetak selain dibutuhkan pasir juga pengikat (bentonit atau clay/lempung)
dan air. Ketiga Bahan tersebut diaduk dengan komposisi tertentu dan siap
dipakai sebagi bahan pembuat cetakan.
2.4.2 Jenis cetakan pasir
Ada tiga jenis
cetakan pasir yaitu green sand, cold-box dan no-bake mold. Cetakan yang banyak
digunakan dan paling murah adalah jenis green sand mold (cetakan pasir basah).
Kata “basah” dalam cetakan pasir basah berati pasir cetak itu masih cukup
mengandung air atau lembab ketika logam cair dituangkan ke cetakan itu. Istilah
lain dalam cetakan pasir adalah skin dried. Cetakan ini sebelum
dituangkan logam cair terlebih dahulu permukaan dalam cetakan dipanaskan atau
dikeringkan. Karena itu kekuatan cetakan ini meningkat dan mampu untuk diterapkan
pada pengecoran produk-produk yang besar.
Dalam
cetakan kotak dingin (box-cold-mold), pasir dicampur
dengan pengikat yang terbuat dari bahan organik dan in-organik dengan tujuan
lebih meningkatkan kekuatan cetakan. Akurasi dimensi lebih baik dari cetakan
pasir basah dan sebagai konsekuensinya jenis cetakan ini lebih mahal.
Dalam
cetakan yang tidak dikeringkan (no-bake mold),
resin sintetik cair dicampurkan dengan pasir dan campuran itu akan mengeras
pada temperatur kamar. Karena ikatan antar pasir terjadi tanpa adanya
pemanasan maka seringkali cetakan ini disebut juga cold-setting
processes. Selain diperlukan cetakan yang tinggi, beberapa sifat lain
cetakan pasir yang perlu diperhatikan adalah permeabilitas cetakan (kemampuan
untuk melakukan udara/gas).
2.5
Pola
Pola merupakan gambaran
dari bentuk produk yang akan dibuat. Pola dapat dibuat dari kayu,
plastic/polimer atau logam. Pemilihan material pola tergantung pada bentuk dan
ukuran produk cor, akurasi dimensi, jumlah produk cor dan jenis proses pengecoran
yang digunakan.
Jenis-jenis pola :
1.
Pola tunggal (one pice pattern / solid
pattern)
Biasanya digunakan untuk bentuk produk yang
sederhana dan jumlah produk sedikit. Pola ini dibuat dari kayu dan tentunya
tidak mahal.
2.
Pola
terpisah (spilt pattern)
Terdiri dari dua buah
pola yang terpisah sehingga akan diperoleh rongga cetak dari masing-masing
pola. Dengan pola ini, bentukproduk yang dapat dihasilkan rumit dari pola
tunggal.
3.
Match-piate
pattern
Jenis ini popular yang
digunakan di industri. Pola “terpasang jadi satu” dengan suatu bidang datar
dimana dua buah pola atas dan bawah dipasang berlawanan arah pada suatu pelat
datar. Jenis pola ini sering digunakan bersama-sama dengan mesin pembuatan
cetakan dan dapat menghasilkan laju produksi yang tinggi untuk produk-produk
kecil.
2.6 Aluminium Silokon
Paduan aluminium - silikon adalah paduan yang paling
sering digunakan dalam proses pengecoran. Dikarenakan paduan aluminium –
silikon mempunyai sifat kecairan yang sangat baik, permukaan yang halus, serta kekuatan
mekanik yang tinggi. Sedangkan sebagai bahan mempunyai sifat ketahanan korosi
yang baik, sangat ringan, koefisien pemuaian yang kecil, serta penghantar panas
dan listrik yang bagus. Sehingga bahan paduan aluminium silikon biasa digunakan
untuk komponen otomotif serta bahan konstruksi.
Paduan Al-Si adalah paduan yang sangat baik
kecairannya, mempunyai permukaan yang bagus, tanpa kegetasan panas, memiliki
sifat mampu cor dan ketahanan korosi yang baik, sangat ringan, koefisiennya
kecil dan sebagai penghantar listrik dan panas yang baik, karena sifat-sifatnya
maka paduan ini banyak dipakai sebagai bahan untuk logam las dalam pengelasan
logam paduan aluminium, baik pada paduan cor maupun paduan tempa. Selain itu
pada paduan Al-Si yang dipadu dengan unsur-unsur lain banyak dipakai untuk
benda-benda tuang untuk industri mobil, misalnya torak, kepala silinder, pelek
dan lain - lain.
Paduan Al-Si memiliki sifat mampu cor yang baik,
tahan korosi, dapat diproses dengan permesinan dan dapat dilas. Diagram fasa dari
Al-Si ditunjukkan pada Gambar 2.1, diagram ini digunakan sebagai pedoman umum untuk menganalisa
perubahan fasa pada proses pengecoran paduan Al-Si.
Berikut
gambar diagram fasa dari paduan Al-Si.
1.
Gambar 2.1. Diagram fasa paduan Al-Si.
Kandungan
silikon pada diagram fase AL-Si ini
terdiri dari 3 macam yaitu :
a. Hipoeutectic yaitu apabila terdapat
kandungan silikon < 11.7 % dimana struktur akhir yang terbentuk pada fasa
ini adalah struktur Ferrite ( Alpha )
kaya alumunium, dengan struktur eutektik
sebagai tambahan.
b. Eutectic yaitu apabila kandungan silikon yang
terkandung didalamnya sekitar 11.7%
sampai 12.2% Pada komposisi ini paduan Al-Si dapat membeku secara langsung ( dari fasa cair ke
padat ).
c. Hypereutectic yaitu
apabila komposisi silikon diatas 12.2 % sehingga kaya akan silikon dengan fasa eutektik sebagai
fasa tambahan. Keberadaan struktur
kristal silikon primer pada daerah ini mengakibatkan karakteristik yaitu:
1. Ketahanan
aus paduan meningkat.
2. Ekspansi
termal yang rendah.
3. Memiliki
ketahanan retak panas (Hot Trearing)
yang baik.
Fungsi lain dari unsur silikon dapat mereduksi
koefisien ekspansi termal dari paduan
Aluminium. Selama pemanasan terjadi, pemuaian volume paduan tidak terlalu
besar. Hal ini akan menjadi sangat penting saat proses pendinginan dimana akan
terjadi penyusutan volume paduan Aluminium (ASM International, 2004).
Sifat Fisik Aluminium
Table. menunjukan sifat
fisik aluminium
Nama, Simbol, dan
Nomor
|
Aluminium, Al, 13
|
Sifat Fisik
|
|
Wujud
|
Padat
|
Massa jenis
|
2,70 gram/cm3
|
Massa jenis pada
wujud cair
|
2,375 gram/cm3
|
Titik lebur
|
933,47 K, 660,32 oC,
1220,58 oF
|
Titik didih
|
2792 K, 2519 oC,
4566 oF
|
Kalor jenis (25 oC)
|
24,2 J/mol K
|
Resistansi listrik
(20 oC)
|
28.2 nΩ m
|
Konduktivitas termal (300
K)
|
237 W/m K
|
Pemuaian termal (25 oC)
|
23.1 µm/m K
|
Modulus Young
|
70 Gpa
|
Modulus geser
|
26 Gpa
|
Poisson ratio
|
0,35
|
Kekerasan skala Mohs
|
2,75
|
Kekerasan skala
Vickers
|
167 Mpa
|
Kekerasan skala
Brinnel
|
245A
|
2.7 Macam-Macam Pengujian
2.7.1 Uji Tarik
Uji tarik adalah suatu metode yang
digunakan untuk menguji kekuatan suatu bahan/material dengan cara memberikan
beban gaya yang sesumbu [Askeland, 1985]. Hasil yang didapatkan dari pengujian
tarik sangat penting untuk rekayasa teknik dan desain produk karena
mengahsilkan data kekuatan material. Pengujian uji tarik digunakan untuk
mengukur ketahanan suatu material terhadap gaya statis yang diberikan secara
lambat.
Gambar 1. Mesin uji tarik dilengkapi spesimen ukuran
standar.
Pengujian tarik adalah dasar dari pengujian mekanik yang
dipergunakan pada material. Dimana spesimen uji yang telah distandarisasi,
dilakukan pembebanan uniaxial sehingga spesimen uji mengalami peregangan
dan bertambah panjang hingga akhirnya patah. Pengujian tarik relatif sederhana,
murah dan sangat terstandarisasi dibanding pengujian lain. Hal-hal yang perlu
diperhatikan agar penguijian menghasilkan nilai yang valid adalah :
2.7.1.1
Bentuk dan Dimensi Spesimen uji
Spesimen uji harus memenuhi standar
dan spesifikasi dari ASTM E8 atau D638. Bentuk dari spesimen penting karena
kita harus menghindari terjadinya patah atau retak pada daerah grip atau yang
lainnya. Jadi standarisasi dari bentuk spesimen uji dimaksudkan agar retak dan
patahan terjadi di daerah gage length.
Grip and Face Selection
Face dan grip adalah faktor
penting. Dengan pemilihan setting yang tidak tepat, spesimen uji akan
terjadi slip atau bahkan pecah dalam daerah grip (jaw break). Ini
akan menghasilkan hasil yang tidak valid. Face harus selalu tertutupi di
seluruh permukaan yang kontak dengan grip. Agar spesimen uji tidak
bergesekan langsung dengan face. Beban yang diberikan pada bahan yang di
uji ditransmisikan pada pegangan bahan yang di uji. Dimensi dan ukuran pada
benda uji disesuaikan dengan estándar baku pengujian.
Gambar 2. Dimensi dan ukuran spesimen untuk uji tarik
Kurva tegangan-regangan teknik
dibuat dari hasil pengujian yang didapatkan
Gambar 3. Contoh Kurva Uji Tarik
Tegangan yang digunakan pada kurva adalah tegangan membujur
rata-rata dari pengujian tarik. Tegangan teknik tersebut diperoleh dengan cara
membagi beban yang diberikan dibagi dengan luas awal penampang benda uji.
Dituliskan seperti dalam persamaan 2.1 berikut:
s= P/A0
Keterangan
; s :
besarnya tegangan (kg/mm2)
P : beban yang diberikan
(kg)
A0 : Luas penampang awal
benda uji (mm2)
Regangan yang digunakan untuk kurva tegangan-regangan teknik
adalah regangan linier rata-rata, yang diperoleh dengan cara membagi
perpanjangan yang dihasilkan setelah pengujian dilakukan dengan panjang awal.
Dituliskan seperti dalam persamaan 2.2 berikut.
Keterangan
; e : Besar regangan
L : Panjang benda uji
setelah pengujian (mm)
Lo : Panjang awal benda uji (mm)
Bentuk dan besaran pada kurva tegangan-regangan suatu logam
tergantung pada komposisi, perlakuan panas, deformasi plastik, laju regangan,
temperatur dan keadaan tegangan yang menentukan selama pengujian.
Parameter-parameter yang digunakan untuk menggambarkan kurva tegangan-regangan
logam adalah kekuatan tarik, kekuatan luluh atau titik luluh, persen
perpanjangan dan pengurangan luas. Dan parameter pertama adalah parameter
kekuatan, sedangkan dua yang terakhir menyatakan keuletan bahan. Bentuk kurva
tegangan-regangan pada daerah elastis tegangan berbanding lurus terhadap
regangan. Deformasi tidak berubah pada pembebanan, daerah remangan yang tidak
menimbulkan deformasi apabila beban dihilangkan disebut daerah elastis. Apabila
beban melampaui nilai yang berkaitan dengan kekuatan luluh, benda mengalami
deformasi plastis bruto. Deformasi pada daerah ini bersifat permanen, meskipun
bebannya dihilangkan. Tegangan yang dibutuhkan untuk menghasilkan deformasi
plastis akan bertambah besar dengan bertambahnya regangan plastik.
Pada tegangan dan regangan yang dihasilkan, dapat diketahui
nilai modulus elastisitas. Persamaannya dituliskan dalam persamaan
Keterangan
; E : Besar
modulus elastisitas (kg/mm2),
e : regangan
σ : Tegangan (kg/mm2)
Pada mulanya pengerasan regang lebih besar dari yang
dibutuhkan untuk mengimbangi penurunan luas penampang lintang benda uji dan
tegangan teknik (sebanding dengan beban F) yang bertambah terus, dengan
bertambahnya regangan. Akhirnya dicapai suatu titik di mana pengurangan luas
penampang lintang lebih besar dibandingkan pertambahan deformasi beban yang
diakibatkan oleh pengerasan regang. Keadaan ini untuk pertama kalinya dicapai
pada suatu titik dalam benda uji yang sedikit lebih lemah dibandingkan dengan keadaan
tanpa beban. Seluruh deformasi plastis berikutnya terpusat pada daerah tersebut
dan benda uji mulai mengalami penyempitan secara lokal. Karena penurunan luas
penampang lintang lebih cepat daripada pertambahan deformasi akibat pengerasan
regang, beban sebenarnya yang diperlukan untuk mengubah bentuk benda uji akan
berkurang dan demikian juga tegangan teknik pada persamaan (1) akan berkurang
hingga terjadi patah.
2.7.1.2 Kekuatan Tarik
Kekuatan yang biasanya ditentukan
dari suatu hasil pengujian tarik adalah kuat luluh (Yield Strength) dan
kuat tarik (Ultimate Tensile Strength). Kekuatan tarik atau kekuatan
tarik maksimum (Ultimate Tensile Strength / UTS), adalah beban maksimum
dibagi luas penampang lintang awal benda uji.
di
mana, Su
= Kuat tarik
Pmaks = Beban maksimum
A0
= Luas penampang awal
Untuk logam-logam yang liat kekuatan tariknya harus
dikaitkan dengan beban maksimum dimana logam dapat menahan sesumbu untuk
keadaan yang sangat terbatas. Tegangan tarik adalah nilai yang paling sering
dituliskan sebagai hasil suatu uji tarik, tetapi pada kenyataannya nilai
tersebut kurang bersifat mendasar dalam kaitannya dengan kekuatan bahan. Untuk
logam-logam yang liat kekuatan tariknya harus dikaitkan dengan beban maksimum,
di mana logam dapat menahan beban sesumbu untuk keadaan yang sangat terbatas.
Akan ditunjukkan bahwa nilai tersebut kaitannya dengan kekuatan logam kecil
sekali kegunaannya untuk tegangan yang lebih kompleks, yakni yang biasanya
ditemui. Untuk berapa lama, telah menjadi kebiasaan mendasarkan kekuatan
struktur pada kekuatan tarik, dikurangi dengan faktor keamanan yang sesuai.
Tegangan di mana deformasi plastik atau batas luluh mulai
teramati tergantung pada kepekaan pengukuran regangan. Sebagian besar bahan
mengalami perubahan sifat dari elastik menjadi plastik yang berlangsung sedikit
demi sedikit, dan titik di mana deformasi plastik mulai terjadi dan sukar
ditentukan secara teliti. Telah digunakan berbagai kriteria permulaan batas
luluh yang tergantung pada ketelitian pengukuran regangan dan data-data yang
akan digunakan.
2.7.1.3 Kekuatan luluh (yield
strength)
Salah satu kekuatan yang biasanya
diketahui dari suatu hasil pengujian tarik adalah kuat luluh (Yield Strength).
Kekuatan luluh ( yield strength) merupakan titik yang menunjukan
perubahan dari deformasi elastis ke deformasi plastis [Dieter, 1993]. Besar
tegangan luluh dituliskan seperti pada persamaan 2.4, sebagai berikut.
Keterangan
; Ys : Besarnya tegangan luluh
(kg/mm2)
Py : Besarnya beban di titik yield
(kg)
Ao : Luas penampang awal benda uji
(mm2)
Tegangan di mana deformasi plastis atau batas luluh mulai
teramati tergantung pada kepekaan pengukuran regangan. Sebagian besar bahan
mengalami perubahan sifat dari elastik menjadi plastis yang berlangsung sedikit
demi sedikit, dan titik di mana deformasi plastis mulai terjadi dan sukar
ditentukan secara teliti.
Kekuatan luluh adalah tegangan yang dibutuhkan untuk
menghasilkan sejumlah kecil deformasi plastis yang ditetapkan. Definisi yang
sering digunakan untuk sifat ini adalah kekuatan luluh ditentukan oleh
tegangan yang berkaitan dengan perpotongan antara kurva tegangan-regangan
dengan garis yang sejajar dengan elastis ofset kurva oleh regangan tertentu.
2.7.1.4 Pengukuran Keliatan
(keuletan)
Keuleten adalah kemampuan suatu
bahan sewaktu menahan beban pada saat diberikan penetrasi dan akan kembali ke
baentuk semula.Secara umum pengukuran keuletan dilakukan untuk memenuhi
kepentingan tiga buah hal.
- Untuk menunjukan elongasi di mana suatu logam dapat berdeformasi tanpa terjadi patah dalam suatu proses suatu pembentukan logam, misalnya pengerolan dan ekstrusi.
- Untuk memberi petunjuk secara umum kepada perancang mengenai kemampuan logam untuk mengalir secara pelastis sebelum patah.
- Sebagai petunjuk adanya perubahan permukaan kemurnian atau kondisi pengolahan
2.7.1.5 Modulus Elastisitas
Modulus Elastisitas adalah ukuran kekuatan suatu bahan akan
keelastisitasannya. Makin besar modulus, makin kecil regangan elastik yang
dihasilkan akibat pemberian tegangan. Secara matematis persamaan modulus
elastic dapat ditulis sebagai berikut.
Dimana, s = tegangan
ε = regangan
2.7.1.6 Kelentingan (resilience)
Kelentingan adalah kemampuan suatu bahan untuk menyerap
energi pada waktu berdeformasi secara elastis dan kembali kebentuk awal apabila
bebannya dihilangkan.
2.7.1.7 Ketangguhan (Toughness)
Ketangguhan (Toughness)
adalah kemampuan menyerap energi pada daerah plastik. Pada umumnya ketangguhan
menggunakan konsep yang sukar dibuktikan atau didefinisikan. Ketangguhan (S0)
adalh perbandingan antara kekuatan dan kueletan. Persamaan sebagai berikut.
UT ≈ su ef atau
Untuk
material yang getas
Keterangan;
UT : Jumlah unit volume
Tegangan patah sejati adalah beban pada waktu patah, dibagi luas
penampang lintang. Tegangan ini harus dikoreksi untuk keadaan tegangan tiga
sumbu yang terjadi pada benda uji tarik saat terjadi patah. Karena data yang
diperlukan untuk koreksi seringkali tidak diperoleh, maka tegangan patah sejati
sering tidak tepat nilai.
2.7.2
Uji
Bending
Uji lengkung (bending test) merupakan salah satu bentuk pengujian
untuk menentukan mutu suatu material secara visual. Selain itu uji bending
digunakan untuk mengukur kekuatan material akibat pembebanan dan kekenyalan
hasil sambungan las baik di weld metal maupun HAZ. Dalam pemberian
beban dan penentuan dimensi mandrel ada beberapa factor yang harus
diperhatikan, yaitu :
1.
Kekuatan tarik (Tensile Strength)
2.
Komposisi kimia dan struktur mikro
terutama kandungan Mn dan C.
3.
Tegangan luluh (yield).
Berdasarkan posisi pengambilan
spesimen, uji bending dibedakan menjadi 2 yaitu transversal bending dan longitudinal
bending.
2.7.2.1 Transversal
Bending.
Pada transversal bending ini,
pengambilan spesimen tegak lurus dengan arah pengelasan. Berdasarkan arah
pembebanan dan lokasi pengamatan, pengujian transversal bending dibagi
menjadi tiga :
a.
Face Bend (Bending
pada permukaan las)
Dikatakan Face Bend jika
bending dilakukan sehingga permukaan las mengalami tegangan tarik dan dasar las
mengalami tegangan tekan. Pengamatan dilakukan pada permukaan las yang
mengalami tegangan tarik. Apakah timbul retak atau tidak. Jika timbul retak di
manakah letaknya, apakah di weld metal, HAZ atau di fussion line (garis
perbatasan WM dan HAZ).
Gambar 4. Face Bend pada transversal Bending
b.
Root Bend (Bending pada
akar las)
Dikatakan Rote Bend jika bending
dilakukan sehingga akar las mengalami tegangan tarik dan dasar las mengalami
tegangan tekan. Pengamatan dilakukan pada akar las yang mengalami tegangan tarik,
apakah timbul retak atau tidak. Jika timbul retak dimanakah letaknya, apakah di
weld metal. HAZ atau di fusion line (garis perbatasan WM dan HAZ).
Gambar 5. Root Bend pada transversal Bending
c.
Side Bend ( Bending
pada sisi las ).
Dikatakan Side Bend jika bending dilakukan sehingga sisi las. Pengujian ini
dilakukan jika ketebalan material yang di las lebih besar dari 3/8 inchi.
Pengamatan dilakukan pada sisi las tersebut, apakah timbul retak atau tidak.
Jika timbul retak dimanakah letaknya, apakah di Weld metal, HAZ atau di fusion
line (garis perbatasan WM dan HAZ).
Gambar 6. Side Bend pada transversal Bending
2.7.2.2 Longitudinal
Bending
Pada longitudinal bending ini,
pengambilan spesimen searah dengan arah pengelasan berdasarkan arah pembebanan
dan lokasi pengamatan, pengujian longitudinal bending dibagi menjadi dua :
1.
Face Bend (Bending
pada permukaan las)
Dikatakan Face Bend jika bending
dilakukan sehingga permukaan las mengalami tegangan tarik dan dasar las mengalami
tegangan tekan. Pengamatan dilakukan pada permukaan las yang mengalami tegangan
tarik, apakah timbul retak atau tidak. Jika timbul retak di manakah letaknya,
apakah di Weld metal, HAZ atau di fusion line (garis perbatasan WM dan
HAZ).
Gambar 7. Face Bend pada longitudinal Bending
2.
Root Bend (Bending pada
akar las)
Dikatakan Root Bend jika bending dilakukan sehingga akar las
mengalami tegangan tarik dan dasar las mengalami tegangan tekan. Pengamatan
dilakukan pada akar las yang mengalami tegangan tarik, apakah timbul retak atau
tidak. Jika timbul retak di manakah letaknya, apakah di Weld metal, HAZ atau di
fusion line (garis perbatasan WM dan HAZ).
Gambar 8. Root Band pada longitudinal Bending
2.7.2.3 Kriteria
kelulusan uji bending
Untuk dapat
lulus dari uji bending maka hasil pengujian harus memenuhi standard ASME
sebagai berikut :
a.
Pada daerah Weld metal dan HAZ
ukurannya tidak melebihi 1/8 inchi ( ±3,2 mm) yang diukur dari segala arah
pemukaan.
b.
Pada daerah pelapisan ukuran cacat maksimal
1.6 mm
c.
Cacat pada sudut diabaikan kecuali
akibat SI (Slag Inclusión) dan IF (Incomplate Fusion) dan Internal
Discontinuties
Uji kekerasan adalah salah satu
sifat mekanik (Mechanical properties) dari suatu material. Kekerasan
suatu material harus diketahui khususnya untuk material yang dalam penggunaanya
akan mangalami pergesekan (frictional force) dan deformasi plastis.
Deformasi plastis sendiri suatu keadaan dari suatu material ketika material
tersebut diberikan gaya maka struktur mikro dari material tersebut sudah tidak
bisa kembali ke bentuk asal artinya material tersebut tidak dapat kembali
ke bentuknya semula. Lebih ringkasnya kekerasan didefinisikan sebagai kemampuan
suatu material untuk menahan beban identasi atau penetrasi (penekanan).
Di dalam aplikasi manufaktur, material dilakukan pengujian
dengan dua pertimbangan yaitu untuk mengetahui karakteristik suatu material
baru dan melihat mutu untuk memastikan suatu material memiliki
spesifikasi kualitas tertentu. Didunia teknik, umumnya pengujian
kekerasan menggunakan 4 macam metode pengujian kekerasan, yakni :
2.7.3.1
Pengujian kekerasan dengan metode
Brinnel
Bertujuan untuk menentukan kekerasan
suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola baja (identor)
yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut (spesimen). Idealnya,
pengujian Brinnel diperuntukan untuk material yang memiliki permukaan yang
kasar dengan uji kekuatan berkisar 500-3000 kgf. Identor (Bola baja) biasanya
telah dikeraskan dan diplating ataupun terbuat dari bahan Karbida Tungsten. brinnel dirumuskan dengan :
Dimana : D
= Diameter bola (mm)
d
= impression diameter (mm)
F
= Load (beban) (kgf)
HB =
Brinell result (HB)
Gambar 9. Perumusan untuk pengujian brinell
2.7.3.2 Pengujian kekerasan dengan metode Rockwell
Bertujuan menentukan kekerasan suatu
material dalam bentuk daya tahan material terhadap indentor berupa bola baja
ataupun kerucut intan yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut.
Gambar 10.
Pengujian rockwell
Untuk mencari besarnya nilai
kekerasan dengan menggunakan metode Rockwell dijelaskan pada gambar 11, yaitu
pada langkah 1 benda uji ditekan oleh indentor dengan beban minor (Minor
Load F0) setelah itu ditekan dengan beban mayor (major Load F1) pada
langkah 2, dan pada langkah 3 beban mayor diambil sehingga yang tersisa
adalah minor load dimana pada kondisi 3 ini indentor ditahan seperti kondisi
pada saat total load F yang terlihat pada Gambar 11. Besarnya minor load maupun
major load tergantung dari jenis material yang akan di uji.
Gambar
11. Prinsip kerja metode pengukuran kekerasan rockwell
Rumus
untuk mencari besarnya kekerasan dengan metode Rockwell.
HR = E - e
Dimana
: F0
= Beban Minor(Minor Load) (kgf)
F1
= Beban Mayor(Major Load) (kgf)
F
= Total beban (kgf)
e
= Jarak antara kondisi 1 dan kondisi 3 yang dibagi dengan 0.002 mm
E
= Jarak antara indentor saat diberi minor load dan zero reference line yang
untuk tiap jenis indentor berbeda-beda.
HR =
Besarnya nilai kekerasan dengan metode hardness.
2.7.3.3
Pengujian kekerasan dengan metode
Vickers
Bertujuan menentukan kekerasan suatu material dalam yaitu
daya tahan material terhadap indentor intan yang cukup kecil dan mempunyai
bentuk geometri berbentuk piramid. Beban yang dikenakan juga jauh lebih kecil
dibanding dengan pengujian rockwell dan brinel yaitu antara 1 sampai 1000
gram. Angka kekerasan Vickers (HV) didefinisikan sebagai hasil bagi (koefisien)
dari beban uji (F) dengan luas permukaan bekas luka tekan (injakan) dari
indentor(diagonalnya) (A) yang dikalikan dengan sin (136°/2). Rumus untuk
menentukan besarnya nilai kekerasan dengan metode vikers yaitu :
Gambar 12. Pengujian vikers
Gambar 13.
Bentuk indentor Vickers
................................(1)
...............................(2)
...............................(3)
Dimana, HV = Angka
kekerasan Vickers
F =
Beban (kgf)
d =
diagonal (mm)
2.7.3.4
Mikrohardness test Atau sering
disebut dengan knoop hardness testing
Merupakan pengujian yang cocok untuk pengujian material yang
nilai kekerasannya rendah. Knoop biasanya digunakan untuk mengukur material
yang getas seperti keramik.
Gambar 14.
Bentuk indentor Knoop
Dimana, HK =
Angka kekerasan Knoop
F
= Beban (kgf)
l = Panjang dari indentor (mm).
2.7.4
Uji
Struktur Mikro
Pengujian
strukturmikro digunakan untuk mengetahui gambar struktur logam, jenis fasa, dan
besar butir dari logam. Dalam pengujian ini kwalitas bahan ditentukan dengan mengamati
struktur dibawah mikroskop, disamping itu dapat pula mengamati cacat dan bagian
yang tak teratur. Mikroskop yang dipergunakan adalah mikroskop cahaya.
Permukaan logam uji dipoles dan diperiksa langsung dibawah mikroskop.
2.7.4.1
Struktur
mikro Logam
Menurut
Vlack V.(1992) terdapat beberapa strukturmikro dari logam antara lain:
a) Ferit
atau besi-α
Modifikasi
struktur dari besi murni pada suhu ruang. Bersifat lunak dan ulet, dalam
keadaan murni (komersiil) kekuatan tarik yang rendah sekitar 272-290 MPa,elongation 61% dan kekerasan 75 HB,
tetapi memiliki keuletan yang tinggi Bersifat ferromagnetic pada suhu dibawah 770°C. Berat jenis ferit adalah
7,88 mg/m3.
Karena
ferit mempunyai struktur kubik pemusatan ruang, ruangan antar atom kecil dan tepat
sehingga tidak dapat menampung atom karbon yang kecil sekalipun. Oleh sebab itu
daya larut karbon dalam ferit rendah (1 karbon per 1000 atom besi). Atom karbon
terlalu kecil untuk membentuk larutan padat subtitusi dan terlalu besar untuk
larutan padat interstisi.
b. Sementit
/ karbida besi
Pada
paduan besi karbon, karbon melebihi batas daya larut membentuk fasa kedua, yang
disebut karbida besi (sementit). Karbida besi mempunyai komposisi kimia, Fe3C.
Hal ini tidak berarti bahwa karbida besi membentuk molekul-molekul Fe3C,
akan tetapi isi kristal mengandung atom besi dan karbon dalam perbandingan tiga
lawan satu. Fe3C mempunyai sel satuan ortorombik dengan 12 atom besi
dari 4 atom karbon per sel, jadi kandungan karbon : 6,7% (berat). Berat
jenisnya : 7,6Mg/m3 dan kekerasan 550 HB.
Sementit
bersifat keras dan getas, terbentuk pada benda cor dimana terjadi pendinginan
cepat seperti bagian yang tipis, pojok dan sepanjang permukaan benda cor.
c. Perlit
Selama
pendinginan terjadi reaksi eutektoid Fe-C yang menyangkut pembentukan ferit α
dan karbida (Ĉ), sebagai hasil dekomposisi austenit γ berkomposisi eutektoid.
γ(~0,8%C) α + Ĉ, (2.6)
Dalam
campuran yang dihasilkan terdapat ~ 12% karbida dan lebih dari 88% ferit.
Karena karbida dan ferit terbentuk bersama-sama, keduanya tercampur dengan
baik. Bentuk campuran ini seperti lamel; dan terdiri dari lapisan ferit dan
karbida. Mikrostruktur yang dihasilkan disebut perlit. Perlit memiliki kekuatan
tarik 862 Mpa, elongation 10% dan
kekerasan 200 HB.
Perlit
merupakan campuran khusus terdiri dari dua fasa dan terbentuk sewaktu austenit
dengan komposisi eutektoid bertransformasi menjadi ferit dan karbida. Hal ini
perlu diingat karena campuran antara ferit dan karbida dapat terbentuk oleh
reaksi-reaksi yang lain. Namun mikrostruktur yang dihasilkan oleh reaksi-reaksi
lain tidak berbentuk lamel dan sifatnya pun akan berlainan. Karena perlit
terjadi dari austenit dengan komposisi eutektoid, jumlah perlit yang ada sama
dengan jumlah austenit eutektoid yang tertransformasikan.
2.7.4.2
Hubungan
Struktur mikro dengan Sifat Mekanik
Sifat
seperti kekerasan dan kekuatan tidak dapat ditentukan dari sifat masing-masing
fasa. Kekuatan matrik fasa ferit kurang dari sepertiganya, karena ferit
merupakan fasa yang kontinu maka seluruh beban harus dipikulnya. Hal ini
terjadi karena partikel karbida menghambat slip dan menghalangi terjadinya
pergeseran dalam matrik yang lebih lemah yang disebut pembatas plastik.
Menurut
Vlack V (1992) hubungan antara struktur mikro dengan sifat mekanik logam adalah
sebagai berikut:
1. Efek
Kuantitas Fasa
Perlit
merupakan contoh kualitatif yang baik dari hubungan antar struktur mikro dan
sifat mekanik. Semakin besar prosentase karbon, sementit dan perlitnya maka
kekuatan luluh, tarik dan kekerasannya meningkat sedangkan perpanjangan,
keuletan, susut penampangnya semakin
menurun.
2. Efek
Ukuran Fasa
Partikel
karbida yang lebih halus jauh lebih efektif pengaruhnya terhadap penguatan
ferit yang ulet dari pada karbida yang kasar. Laju pendinginan yang lebih
tinggi pada reaksi eutektoid (pada suhu dekomposisi austenit yang lebih rendah)
menghasilkan lamel atau lapisan dengan jumlah banyak dan tipis karena berdifusi
terbatas pada jarak-jarak yang pendek. Lapisan perlit yang halus mempunyai
daerah batas butir per satuan volume yang lebih besar atau lapisan yang lebih
tipis berarti lebih banyak batasan plastik dan kekuatan tarik meningkat, karena
lebih banyak batasan plastik untuk ferit yang dapat dideformasi.
3. Pengaruh
Bentuk dan Distribusi Fasa.
Dua
strukturmikro yang sangat berbeda ukuran fasa karbidanya. Berat jenisnya sama,
oleh karena fraksi volume dan karbida sama akan tetapi memiliki sifat mekanik
yang berbeda. Lamel karbida dalam perlit merupakan hambatan pada deformasi
plastic ferit, sedang karbida yang bulat kurang efektif sebagai penghambat
deformasi plastik.
2.7.5
Uji
Densitas
Densitas merupakan
massa jenis yang dimiliki oleh setiap material. Semakin tinggi densitas yang
dimiliki suatu material maka semakin tinggi kekerasan material tersebut.
2.7.5.1 Densitas pengecoran aluminium dengan cetakan pasir
Dari hasil penelitian pada praktikum
metalurgi fisik dalam pengecoran aluminium dengan mengunakan cetakan pasir
dapat dilihat pada struktur mikro bahwa produk coran memiliki rongga-rongga
dengan batas butir yang nampak jelas. Hal ini menandakan bahwa densitas
pengecoran aluminium dengan cetakan pasir lebih rendan dibandingkan dengan
pengecoran aluminium menggunakan cetakan logam. Hal ini disebabkan beberapa
faktor antara lain pada cetakan pasir yang tidak kering/masih terdapat
kandungan air yang dapat mengikat oksigen-oksigen sehingga pada proses penuangan
logam cair oksigen tersebut terjebak didalam cetakan yang dapat mengurangi
kerapatan atau densitas dari produk coran.
2.7.5.2 Densitas pengecoran aluminium dengan cetakan logam
Berbeda halnya dengan cetakan pasir,
pengecoran aluminium dengan menggunakan cetakan logam disamping permukaan hasil
coran yang lebih halus, produk cetakan logam juga memiliki densitas yang lebih
tinggi. Karena cetakan logam memiliki permukaan yang rata dan halus sehingga
logam cair dapat mengalir dengan baik dan mengisi setiap rongga cetakan dan
reaksi dengan oksigen lebih rendah dibandingkan dengan cetakan pasir.
BAB
III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1
Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari
Jumat jam 08-12.30, pada tanggal 03 mei 2013. Bertempat di Laboratorium Teknologi
Mekanik, Fakultas Teknik Universitas Haluoleo kendari.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Bahan
Adapun
bahan yang digunakan dalam praktikum pengecoran
logam adalah sebagai berikut:
a. Pasir halus
b.
Logam (aluminium-silikon)
c. pelumas
3.2.2 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam
praktikum pengecoran logam yaitu sebagai berikut:
No
|
Alat
|
Fungsi
|
1
|
Kikir
|
Untuk mengikir logam
|
2
|
Digital thermocouple reader
|
Untuk mengukur temperatur logam saat peleburan
|
3
|
Gerinda Tangan
|
Untuk menghaluskan permukaan benda
|
4
|
Gerinda potong
|
Untuk memotong
|
5
|
Ragum
|
Untuk menjepit benda kerja
|
6
|
Blower
|
Sebagai peniup tungku
|
7
|
Crucible
|
Sebagai wadah logam cair
|
8
|
Tungku
|
Sebagai
tempat pelebur logam
|
3.2.3 prosedur percobaan.
Adapun
prosedur percobaan dalam praktikum adalah sebagai berikut:
1.
Sebelum mulai praktikum pertama-tama
praktikan menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2.
Menyiapkan pasir
3.
Menyiapkan cetakan diatas pasir
4.
Menuangkan pelumas kedalam bejana
pelumas
5.
Memutar pengunci pelumas agar pelumasnya
mengalir ke tungku.
6.
Setelah pelumas mengalir, nyalakan
tungku bertanda untuk memulainya proses pengecoran.
7.
Nyalakan blower dan masukkan crucible
kedalam tungku
8.
Masukkan piston kedalam crucible untuk
memulai pemasakan logam
9.
Setelah logam mencair ukurlah suhunya menggunakan
digital termocouple reader
10.
Setelah logam mencair kemudian dituang
kedalam cetakan yang telah di sipkan.
11.
Setelah coran membeku, kemudian
dilakukan pembongkaran cetakan
12.
Coran didinginkan
13.
Coran di potong-potong tipis
14.
Hasil coran dikikir untuk menghasilkan
produk yang halus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar